FIKSI MINI BLUE THEME
Pertemuan Dua Hari
Hari Pertama
Aku mengelus pipi oval-nya. Lalu
mencium keningnya mesra. Dia belahan hatiku. Aku sangat menyayanginya. Belum
ada satu orangpun yang bisa menggantikan posisinya di dalam hati ini. Ia
membuka matanya perlahan dan menatapku. Senyumnya mengembang menampilkan lesung
di kedua pipinya.
“Besok kita jadi jalan-jalan untuk
terakhir kalinya kan?” ujarmu lalu memegang tangan kiriku.
Aku menganggukkan kepala. “Iya, tiap
hari pun aku siap menemanimu jalan kemana saja.”
“Tapi, lusa adalah hari spesialmu.
Pasti setelah itu kita..”
Aku meletakkan jari telunjukku di
depan bibirnya dan menggeleng. Aku tidak ingin kebersamaan kami terganggu hanya
karena ia memikirkan hari pernikahanku.
Ia pun tersenyum. Ah, sudah lama aku
tidak melihat senyum manis yang diapit oleh dua lesung pipi yang selalu
membuatku iri sejak aku ditakdirkan selalu bersanding disisimu. Aku bukan hanya
iri dengan senyum itu, tapi paras dan hatimupun juga. Dulu aku begitu jahat dan
selalu acuh padamu. Masih teringat dengan jelas, aku paling tidak suka
disamakan dengan dirimu. Aku benci dengan
dirimu begitu pintar dan selalu disanjung-sanjung oleh orang-orang
sekitar.
Sedangkan aku selalu dijadikan
sebagai bahan perbandingan denganmu. Kau
mawar dan aku hanyalah rumput-rumput liar disekeliling dirimu. Aku pun berjanji
bahwa aku bisa lebih hebat darimu. Dan impian itu terwujud. Akhirnya aku bisa
meninggalkan dirimu dan memulai karier di luar negeri. Sedangkan kamu hanyalah
seorang guru honor yang gajinya tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku. Aku
merasa puas sekali melihat orang-orang sangat kecewa dengan pilihan hidupmu itu.
Tapi, semenjak seminggu yang lalu, sejak aku menerima berita kamu masuk rumah
sakit, rasa benci itu berubah menjadi cinta dan sayang.
Hari Kedua
Aku mengusap airmataku. Aku memegang
kedua tangannya dingin. Ia tersenyum.
Terlihat damai. Aku membaca sebuah pesan terakhir yang ia tulis untukku.
Tulisan halus kasar yang dulu selalu membuatku iri akan keindahannya.
“Kak,
aku selalu mencintaimu. Aku tahu kakak benci dengan segala kelebihan yang
kupunya. Walaupun begitu kakak adalah satu-satunya belahan jiwa yang kumiliki. Kita
kembar dan jiwa kita satu. Bahkan aku masih ingat dengan janji masa kecil kita
untuk menikah bersama-sama saat dewasa nanti. Aku rela menolak pinangan
seseorang karena aku ingin menunggu kakak pulang. Kak, maafkan aku yang belum
bisa menjadi seorang adik yang bisa menyenangkan hatimu. Kuberharap kita bisa
bertemu di surga-Nya kelak.”
Aku meremas kertas itu. Aku menyesal
karena belum sempat mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Aku mencium
kening dan kedua pipinya untuk terakhir kalinya. Ciuman ini adalah bukti
cintaku padamu. Maafkan diriku atas semua kesalahan yang telah kulakukan.
0 comments:
Post a Comment