Setelah buku 99
Cahaya di Langit Eropa menjadi novel islami best
seller menyusul filmnya sukses besar di Indonesia tahun lalu, duo suami
istri, Hanum dan Rangga kembali meliris kelanjutan cerita travelling mereka di
pertengahan tahun 2014 dengan judul Bulan Terbelah di Langit Amerika. Sesuai
judulnya, novel ini sangat berbeda dari 99 Cahaya di Langit Eropa yang lebih
menitik beratkan tentang pengalaman travelling dan mencari bukti islam di benua
biru. Bulan Terbelah di Langit Amerika menyorot percampuran antara fiksi,
sejarah, travelling, agama di negara Adidaya. Selain itu, novel ini memiliki
persamaan dengan buku sebelumnya yaitu mengingatkan kita untuk menjadi agen
muslim yang baik di manapun dan kapanpun kita berada.
Buku dengan ‘taste’
berbeda dari sang duo penulis ini membuat saya tidak pernah
berhenti membaca dan membalikkan halaman demi halaman untuk menyaksikan sebuah cerita
tentang skenario Tuhan yang luar biasa. Seakan-akan Tuhan memberikan misi
kepada kedua penulis untuk mengungkapkan sebuah tugas besar kepada dunia
Cerita bermula di Wina, ketika Hanum menerima sebuah
pekerjaan untuk meliput dan mewawancarai para narasumber yang menjadi korban
tragedi 9/11 di Amerika. Dengan tema sensasional ‘Would
the world be better without Islam?’ yang dipinta langsung oleh Gertrud Robinson,
sang pemimpin redaksi Koran Heute ist
Wunderbar demi menyelamatkan koran ‘gratis’ tersebut dari kebangkrutan. Hanum
merasa keberatan dengan tema tersebut tetapi pada akhirnya ia menerima
tantangan itu karena bukan hanya dia ingin membela keyakinannya tapi ia lebih
ingin membuktikan bahwa stigma tersebut tidak terbukti.
Rangga
mendapatkan inspirasi untuk tema paper
berikutnya berdasarkan sebuah berita di koran tentang seorang jutawan AS Phillipus
Brown. Pada saat yang bersamaan professor Reinhard menginginkan Rangga ke
Amerika untuk meliput acara konferensi dengan keynote
speaker adalah Phillipus Brown sendiri. Sebuah kebetulan diluar dugaan, Hanum
dan Rangga akan memulai perjalanan bersama ke negara Adidaya dengan tugas
mereka masing-masing.
"Tidak mudah memahami jalan takdir, karena takdir tak akan berjalan
dengan arahan navigasi manusia. GPS Tuhan lah penentunya."
Hanum dan Rangga tidak percaya dengan
kebetulan yang mereka dapatkan. Semua
sudah digariskan oleh Maha Kuasa sampai akhirnya Tuhan menghendaki mereka
berdua berpisah untuk sementara waktu. Selama perpisahan tersebut, mereka harus
menyelesaikan misi yang sudah ditetapkan
oleh Tuhan untuk mereka masing-masing.
Hanum
bertemu dengan narasumber yang ia cari, orang-orang yang membagi kesedihan dan
kepedihan mereka sebagai keluarga korban tragedi 9/11. Azima yang tidak pernah
bertemu dengan jasad suaminya, Ibrahim Hussein. Ia pun harus rela melepaskan
hijab demi sang ibu penderita Alzheimer yang mengingat dirinya lah penyebab
kematian ayahnya. Michael Jones yang menentang pembangunan Mesjid Ground Zero
demi menghormati sang almahumah istri hingga pengejaran Rangga kepada Phillipus
Brown, sang jutawan AS yang memiliki rahasia besar dibalik sifat kedemarwanannya.
"Terkadang kita memang tidak adil pada hidup kita sendiri. Tatkala tiada
pilihan, kita menggerutu. Padahal Tuhan tak memberi pilihan lain karena telah
menunjukkan itulah satu-satunya pilihan terbaik bagi hidup kita."
Mereka harus rela bertahan dalam kesedihan dan
kepedihan selama delapan tahun sebagai keluarga korban hingga Tuhan menunjukkan
kekuasaaan melalui skenario indah-Nya. Tidak hanya mempertemukan Rangga dan
Hanum kembali tetapi menunjukkan bahwa ada sebuah hikmah terindah yang
diciptakan Tuhan bagi kepedihan dan kehilangan Azima dan Michael.
Di sepanjang
jalan cerita, kita akan disuguhkan sejarah keterkaitan antara Amerika dan Islam
yang cukup mencengangkan. Saya tidak pernah tahu bahwa ada Al Quran versi
Thomas Jefferson sang Founding Father,
orang-orang Melungeon, gambar visual Nabi Muhammad di dinding Supreme Court
atau Mahkamah Agung Amerika Serikat dan masih banyak kejutan lainnya.
Jalan cerita
yang susah ditebak, kejutan-kejutan tak terduga sepanjang cerita hingga rasa
haru yang saya rasakan selama membaca
novel ini. Sepanjang menyaksikan keajaiban jalan cerita ini, saya bisa merasakan
bagaimana hidup dan mati berada tepat di depan mata ketika orang-orang terjebak
di dalam gedung WTC yang dalam hitungan menit akan hancur berkeping-keping. Apakah
saya tetap berjuang mencari jalan keluar seperti suami Azima atau pasrah dengan
takdir Tuhan menjadi korban. Inilah salah satu nilai plus dari novel ini
bagaimana Hanum dan Rangga bisa mengaduk emosi dan membawa pembaca hadir
di dalam cerita dan merasakan jalan cerita seakan-akan nyata.
Selain nilai
plus tersebut, ada lagi hal lain yang saya sukai dari novel ini. Pada bagian akhir
buku, dijelaskan terlepas dari pemaparan sejarah dan fakta
ilmiah di dalam buku, pembaca bisa berpikir kritis untuk mencari tahu tentang
sejarah Amerika di dalam buku ini melalui sumber-sumber lain. Bagian penjelasan
inilah yang paling saya sukai dimana penulis tidak harus menjelaskan secara detail di bawah halaman
tentang sejarah yang mereka ceritakan di dalam cerita. Hal ini secara tidak
langsung mengajak pembaca ikut berpikir kritis mencari kebenaran. Pun pembaca seperti saya yang belum pernah
menginjakkan kaki di Amerika, mau tidak mau harus mencari tahu penggambaran
visual dan landmark di dua kota yang
menjadi setting inti cerita yaitu New York dan Washington DC.
Bukan hanya dituntut untuk
berpikir kritis untuk mencari tahu tentang sejarah Amerika tapi novel ini juga
membuat saya bertanya dan berpikir apa hubungan antara isi cerita dan judul.
Sebuah judul yang sangat kontroversial dan membuat penasaran hingga saya
bertanya-tanya ketika pertama kali membeli novel ini. Apalagi pikiran saya
langsung teringat dengan salah satu mukjizat Rasulullah yaitu membelah bulan.
Sampai akhirnya saya paham maksud tersembunyi dari judul tersebut setelah selesai
membaca novel. Sebuah judul dan jalan cerita yang memang tidak biasa dan sangat
jenius.
Novel ini
mengajarkan bahwa sekalipun kita dihadang masalah sepedih dan seberat apapun,
yakinlah bahwa skenario Tuhan lebih jenius dibanding para orang jenius
sekalipun. Tetap yakin dan percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan kado terindah
untuk kita.
Sebuah novel
sarat makna yang tidak hanya membuat saya menjadi tahu sejarah keterkaitan Amerika
dan Islam, tapi membuat saya berpikir bahwa dunia memang sampai kapan pun tidak
akan lebih baik tanpa Islam. Islam sangat membutuhkan agen-agen muslim seperti Ibrahim
Hussein, Hanum, Rangga sehingga fenomena islamophobia dan gemboran media Barat akan
citra Islam yang negatif semakin lama semakin hilang di bumi. Secara tidak
langsung novel Bulan Terbelah di Langit Amerika mengingatkan kita agar menjadi
muslim yang selalu menampilkan Islam yang indah. Saya berharap novel ini bisa menjadi novel inspirasi bagi orang-orang
yag masih termakan stigma Islam yang negatif. Sekaligus bisa diperkenalkan ke belahan dunia lain sehingga orang-orang non
Muslim tahu bahwa Islam mengajarkan kedamaian bukan sebaliknya. Two thumbs up
for Hanum and Rangga, Islam sangat butuh karya jenius kalian selanjutnya.
0 comments:
Post a Comment