Siang itu, kafe
langganan saya sedang rame. Dua meja besar disatukan dan dikelilingi oleh
sepuluh orang remaja putra-putri. Sepuluh orang tersebut sudah cukup membuat
saya harus berbicara keras-keras kepada teman saya karena suara kami tidak bisa
menyaingi suara mereka. Selama saya berkunjung ke kafe itu, baru kali inilah
kafe sedang rame dan ribut.
Saya benar-benar
merasa kesal jika saya berada ditengah-tengah suara keramaian yang melebihi
pasar ini. Mendengar percakapan mereka, saya yakin mereka bersepuluh berencana
akan menonton film di sebuah cinema
yang tidak jauh dari kafe ini.
Saya dan teman
saya harus bersabar menunggu mereka selesai dan keluar. Kami berdua tidak tahan
lagi dengan suara-suara ribut mereka. Tidak berapa lama kemudian, akhirnya
mereka selesai dan segera membayar makanan masing-masing ke kasir yang tentu
saja mereka harus antri terlebih dahulu.
Tiba-tiba ketika
saya sedang asyik dengan mie kwetiau yang saya makan, mata saya tertumbuk dengan
satu gelas besar es krim coklat yang masih utuh dan terlihat tidak disentuh
sama sekali. Kemudian, teman saya menyikut siku saya dan menunjuk ke arah
lainnya. Disana teronggok dua burger utuh dan sepiring kentang goreng. Oh my God! Kami berdua ngiler melihat
makanan utuh tersebut dari meja sepuluh orang tadi.
Saya pun melihat
piring-piring lain, ada yang bersih mengkilat, ada juga yang masih terisi
dengan sisa makanan. Ketika mereka keluar dengan suara yang tetap berdengung
seperti lebah, saya melihat siapa diantara mereka yang tidak bertanggung jawab
menghabiskan makanan yang sudah dipesan. Mereka adalah anak-anak orang kaya
dengan tentengan gadget yang mahal yaitu iphone
dan ipad.
Tidak lama
mereka pergi, si mbak waitress
mendorong sebuah troli.
Saya dan teman
saya hanya bisa terpana melihat si mbak membersihkan meja sepuluh orang tadi.
“Mbak, saya mau
es krimnya,” kata saya pelan tetapi tentu saja bukan terhadap si mbak tersebut.
Teman saya pun tidak mau kalah ingin makan burger dan kentang goreng yang ia
tunjuk tadi. Kami berdua seakan tidak rela jika makanan utuh tersebut di take away ke belakang kafe bersama
piring-piring kotor. Saya pikir makanan utuh tersebut akan di makan oleh
mereka, si mbak bersama para penjaga gawang di dapur. Sayang banget jika
makanan tersebut dibuang, padahal sudah bayar.
Kami berdua pun
terlibat diskusi tentang sifat anak-anak
sekarang yang suka makan di luar rumah
dan tidak menghabiskan makanannya. Apalagi jika ada orang tua yang ikut bersama
mereka. Orang tua tersebut seakan tidak peduli jika si anak tidak menghabiskan
makanan yang terbilang tidak murah tersebut.
Satu gelas es
krim coklat tadi dibanderol seharga 18000 perak. Bagi mereka anak orang kaya
yang masih menengadah minta duit sama ortu, hal itu bukanlah apa-apa bagi
mereka. Kalo duit habis ya minta pada orang tua. Sedangkan saya harus pikir
beribu kali jika ingin memesan es krim tersebut. Apalagi saya hanyalah mahasiswa semester akhir yang harus mengirit
duit untuk pengeluaran biaya ujian proposal dan sidang akhir nanti.
***
Peran orang tua
berperan besar bagaimana si anak belajar bersyukur dengan menghabiskan makanan
yang dimakan. Saya pun teringat dengan Ibu di rumah. Beliau satu-satunya yang
paling cerewet jika makanan yang saya makan tidak habis. Pasti beliau akan
berkata bahwa beras mahal, ikan mahal, barang-barang pokok naik. Jika nasi
masih tersisa di pinggir-pinggir piring saya, pasti ibu akan menghabiskannya. Pun
jika ada daging ikan yang masih tersisa di sisi-sisi tulang, tanpa pikir
panjang beliau akan menhabiskannya dengan cara mengisap-isap tulang tersebut sampai
tersisa tulang yang utuh dan bersih.
Sampai sekarang
kelakuan Ibu masih dilakukan sampai sekarang sambil berpesan, “Habiskan
makananmu! Ikan-ikan sekarang harganya mahal, sayang banget duit udah keluar 60
ribu tapi dibuang percuma. Masih syukur kita masih bisa makan ikan.”
Saya memang
dilahirkan di sebuah keluarga sederhana dimana satu biji beras sangat valuable bagi kami. Dan saya pun miris
melihat kelakukan anak-anak zaman sekarang seperti sepuluh orang anak tadi. Sudah
memesan makanan mahal tapi tidak dihabiskan. Pun saya jarang melihat para orang
tua ngomel-ngomel seperti Ibu saya jika makanan yang sudah dipesan tidak
dimakan habis oleh sang anak. Bahkan ada juga orang tua dengan cuek mungkin
dengan dalih kenyang, makanan yang ia pesan sendiri pun tidak habis. Saya
pernah melihat sebuah keluarga, ayah-ibu dan anak-anaknya dengan tanpa merasa
bersalah meninggalkan makanan yang saat itu masih tersisa satu atau dua potong
pizza.
Awalnya, saya
cuek dengan omelan ibu. Tetapi ketika saya menjadi mahasiswa dan mulai berpikir
dewasa ingin mencari uang tambahan untuk
keperluan kuliah, saya pun tersadar.
Mencari duit itu memang tidak mudah. Dan kitalah sang anak kurang ajar
yang suka seenak perut minta duit jika duit habis. Padahal pagi sampai sore orang tua harus kerja keras
demi kebutuhan kita terpenuhi. Orang tua tidak pernah meminta ucapan terima
kasih atas yang mereka lakukan. Melihat senyum gembira saja itu sudah cukup
bagi mereka. Mulailah belajar bersyukur dengan menghabiskan makananmu dan
berterima kasih kepada Tuhan dan orang tua. Kamu beruntung bisa makan makanan
enak. Sedangkan orang yang tidak seberuntung kita harus berpikir dan memutar
otak apa yang harus dimakan esok hari.
Lalu, belilah
makanan sesuai kebutuhan dan jangan berlebih-lebihan. Lebih baik makanan sisa
yang tidak habis dibawa pulang. Dan bagi orang tua ajarlah, anak-anak Anda
untuk bersyukur dengan cara menghabiskan setiap makanan yang dimakan. Seperti Ibu
saya :D
0 comments:
Post a Comment